Markplus Satu Dekade

April 6, 2010

“Mencapai Bintang di Langit” Vs “Mendaratkan Manusia di Bulan” (77)

Filed under: Uncategorized — markplus2010 @ 10:02 am

KETIKA buku kedua saya bersama Philip Kotler dipakai di beberapa sekolah bisnis di Asia, pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa marketing dan strategi kok bercampur aduk. Soalnya, di model SME atau sustainable marketing yang merupakan versi ketiga dari Marketing Plus 2000 itu, ada tambahan elemen enterprise. Mestinya marketing tidak perlu “mengurusi” strategi. Biasanya, buku teks untuk keduanya juga terpisah.

Michael Porter dianggap “superguru” strategi dan Philip Kotler dianggap “mahaguru” marketing. Pertanyaan terutama sering datang dari para pengajar yang menggunakan buku itu di kampus. Buat saya, marketing memang tidak bisa dipisahkan dari strategi. Bahkan, pada kedua ilmu “asli”-nya pun, sebenarnya dua hal ini “sangat dekat”. Sebab, sejak versi pertama dulu, saya memang berusaha “meredefinisi” marketing, makanya dalam versi ketiga ini “konvergensi” antara keduanya jadi semakin nyata.

Buat saya, ada tiga komponen dari sebuah enterprise yang dinamis. Inspiration, culture, and institution! Sebuah perusahaan harus punya inspirasi ketika didirikan. Tanpa hal ini, sebuah perusahaan akan cepat habis, karena tidak punya alasan dan cita-cita. Karena itu, di komponen inspirasi ini saya “pasang” mission dan vision.

Banyak orang yang suka memakai kata-kata ini, tapi pengertiannya berbeda-beda. Demikian juga penggunaannya. Sering sama antara keduanya, tercampur atau malah terbalik! Di model SME, saya mendefinisikan mission sebagai bentuk abstraknya “what BUSINESS are we in“. Tanpa mission, sebuah perusahaan tidak punya reason for being ketika kali pertama dilahirkan. Sedangkan vision adalah bentuk big picture-nya dari GOAL yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu.

Tanpa vision, sama saja perusahaan itu tidak punya the future dream. Kalau mission ditulis terlalu idealis, seperti “akan menjadi agent of change of the world” atau “akan membuat kehidupan manusia lebih baik”, maka bentuknya masih “abstrak”.

Karena itu, penulisan mission harus diteruskan jadi business yang akan dimasuki. Ini adalah sesuatu yang konkret sebagai pelaksanaan misi tersebut. Agent of chance of the world, misalnya, bisa diterjemahkan jadi bisnis perumahan. Tapi, bisa juga jadi lingkungan hidup! Lewat pembuatan dan penjualan rumah yang “sehat”, misalnya, sebuah perusahaan properti bisa mengubah sebuah slum area menjadi permukiman yang baik. Begitu juga bisnis environment sebuah perusahaan bisa mengurangi kadar CO2 di suatu area.

Tapi, ada juga misi yang ditulis “lebih jelas”. Misalnya, “memperbaiki kualitas hidup orang banyak di bidang kesehatan”. Maka, uraian bisnisnya lebih sederhana, misalnya “produksi alat-alat kesehatan yang inovatif”. Sedangkan vision adalah gambaran tentang pencapaian atau achievement dalam jangka tertentu.

Yang terkenal adalah bagaimana Presiden John Kennedy mencanangkan suatu tekad bahwa orang Amerika harus sudah mendarat di bulan sebelum pergantian dekade 60-an, dan kebetulan memang terlaksana pada 1969. Visi ini lantas diterjemahkan menjadi goal yang lebih konkret dalam bentuk yang lebih kuantitatif oleh NASA. Jadi, kalau hal ini diterapkan di perusahaan properti tadi. Misalnya, bisa jadi “menjadi market leader di bidang properti dalam waktu lima tahun”.

Nah, ini mesti diterjemahkan lagi jadi goal yang harus lebih konkret. Misalnya, market leader sampai 30 persen di bidang rusunami di Jawa Timur pada 2015.

Biasanya goal ini lantas dirinci lagi menjadi lebih detail, tentang jenis rumah, lokasi, ukuran, dan kuantitas rusunami yang akan dibangun dan dijual. Banyak anggapan bahwa mission dan vision adalah sesuatu yang harus “indah”, “idealis”, dan “sakral”. Bung Karno terkenal dengan salah satu ucapannya “Capailah bintang-bintang di langit!” Bagus sih kelihatannya dan enak kedengarannya, tapi sangat “tinggi”. Bisa memberi inspirasi, tapi punya “ruang yang sangat besar” untuk penerjemahannya ke hal yang konkret.

Buat suatu perusahaan, apalagi yang belum terlalu gede, menurut saya, nggak perlu “segitunya”. Misi John Kennedy supaya “Amerika tetap menjadi negara superpower di dunia, jangan sampai kalah dari Uni Soviet” dan visinya yang jelas lengkap dengan tahun targetnya jauh lebih realistis. Dan, menurut saya, misi dan visi tidak perlu sakral dan tidak bisa berubah! Karena itu, tidak perlu berjangka terlalu panjang. Apalagi, kalau industri nya sangat dinamis.

Kalau mau “lebih panjang”, berarti “lebih abstrak dan big picture” dan makin nggak jelas. Akhirnya susah “dimengerti” stakeholder-nya. Bahkan, karyawan perusahaan pun banyak yang nggak mengerti misi dan visi itu. Cuma indah digantung di kantor!

Dalam kurun waktu hampir dua puluh tahun, MarkPlus beberapa kali “memperbaiki” misi dan visi berbagai perusahaan supaya lebih membumi. Ini harus in line dengan analisis 4 C-nya. Kalau ada perubahan landscape bisa saja, misi dan visi berubah. Dan, biasanya kita menganjurkan untuk mengambil tiga tahun atau paling panjang lima tahun untuk sebuah misi dan visi. Saya tidak setuju dengan yang terlalu panjang, karena kita semakin nggak tahu apa yang akan terjadi.

Wong tiga tahun saja sudah susah kok. Zaman sudah berubah. Perubahan berjalan begitu dinamis dan dahsyat, sehingga tiga sampai lima tahun sangat ideal. Besok dan lusa saya akan teruskan dengan bahasan tentang culture dan institution. (*)

Everyones Are (Must Be) Customers! (76)

Filed under: Uncategorized — markplus2010 @ 10:00 am

Kemarin saya bercerita tentang core elements of SME. Bukan small medium enterprise. Melainkan, sustainable marketing enterprise sebagai the real marketing company! Di situ everyones are marketers! Tidak peduli apa pun fungsinya.Semua seolah-olah sudah punya invisible contract dengan pelanggan.

Terus terang, saya terinspirasi perusahaan Jepang di masa jayanya. Semua perusahaan besar di Jepang waktu itu selalu memilih dengan hati-hati calon karyawan masing-masing. Mereka biasanya merekrut fresh graduate pada saat yang sama.

Semua perusahaan besar ingin merekrut lulusan universitas besar sebagai pegawai.

Karena itu, lulusan SMA di Jepang sangat stres. Mereka harus bersaing untuk mendapatkan tempat di University of Tokyo, University of Kyoto, atau yang sekelasnya. Begitu mereka diterima, seolah ada jaminan untuk diterima di perusahaan besar, seperti Matsushita, Sony, Toyota, atau Sogo-Shosha dan sekelasnya.

Tapi, begitu lulus sekolah, mereka harus bersaing lagi untuk dapat seat di perusahaan besar.

Bagi anak-anak muda Jepang waktu itu, perusahaan pertama tempat mereka bekerja sangat penting. Sebab, perusahaan tersebut juga akan jadi perusahaan terakhir mereka! Semacam Alpha-Omega Company! Kenapa begitu? Sebab, waktu itu orang yang pindah perusahaan berarti bad guy. Orang yang berani melakukan itu akan susah mencari pekerjaan di perusahaan besar lain karena pasti dicurigai atau masuk black list!

Sebaliknya, perusahaan besar tersebut juga punya kewajiban tidak tertulis untuk memelihara karyawannya. Judulnya lifetime employment, yang merupakan jalur untuk jadi karyawan seumur hidup! Perusahaan yang waktu itu tidak menjalankan manajemen SDM seperti itu akan “tidak laku” juga. Bahkan, kala itu beberapa perusahaan besar, salah satunya Toyota, sampai menyediakan kuburan untuk karyawan masing-masing. Karena itu, nggak usah ditanya bagaimana besar loyalitas para karyawan.

Kan karyawan sebenarnya adalah internal customer. Jadi, kalau perusahaan memperlakukan mereka dengan baik, kepuasan mereka akan naik.

Bagi saya, manajemen SDM dan marketing punya persamaan. Ada semacam mirroring effect antara karyawan sebagai internal customer dan external customer!

Nah, karena itu, pendiri Matsushita selalu mengatakan kepada karyawan barunya bahwa mereka sebenarnya punya kontrak otomatis dengan pelanggan. Itu selalu dia katakan di acara penerimaan karyawan baru, biasanya pada musim bunga sakura sekitar akhir Maret atau awal April tiap tahun.

Biasanya, orang tua karyawan baru juga diundang sebagai simbolisasi bahwa hari itu merupakan hari penyerahan anak tersebut dari keluarga kepada perusahaan. Mulai saat itu, perusahaan malah jadi rumah pertama, tempat para karyawan tinggal dan hidup bersama keluarga pertamanya. Karena itu, para karyawan Jepang, makin tinggi posisinya, makin malu kalau pulang ke rumah sore.

Tenggo atau teng dan go adalah suatu perilaku yang kurang elok. Para istri pun waktu itu mengerti, bahkan sangat mengerti, akan kewajiban sang suami untuk melayani pelanggan. Seolah ada kontrak tidak tertulis atau unwriten contract. Karena itu, banyak istri yang mengusir suami agar pergi lagi kalau balik ke rumah terlalu sore. Pulang tengah malam atau pukul satu pagi dengan banyak bekas lipstik di leher bisa diterima dan membanggakan bagi para istri. Berarti suaminya “orang penting” di perusahaan. Belum jadi bos pun, paling tidak sang suami diajak bos untuk makan malam, karaoke, dan minum-minum.

Karena itu, semua karyawan Jepang ya merasa orang marketing. Sebab, semua merasa bahwa ultimate customer mereka, nggak peduli apa posisinya, ya pelanggan di luar perusahaan tersebut. Tapi, setiap karyawan yang tidak punya pelanggan langsung melayani next process sebagai internal customer.

Dengan demikian, the the whole value chain lantas jadi sangat QCD-oriented!

Quality, cost, and delivery tersebut dimaksimalkan dengan sendirinya. Nah, ketika itu saya membayangkan perusahaan semacam itu sebagai sebuah SME! Lantas, apakah sekarang masih valid? Sekarang, dengan persaingan makin ketat, perusahaan Jepang sudah give up dengan model lifetime employment. Apalagi, dengan situasi horizontal yang tidak menentu seperti sekarang, perusahaan seperti itu lantas tidak bisa fleksibel. Cost mempertahankan karyawan seumur hidup jadi mahal.

Karyawan Jepang pun sudah tidak malu-malu untuk pindah perusahaan, bahkan kadang-kadang kepada pesaing. Model loyalty management, baik di karyawan dan pelanggan, memang sudah berubah total! Dari vertikal menjadi horizontal. Dari legacy jadi new wave!

Perusahaan yang ingin mempertahankan pelanggan dan karyawan harus menunjukkan inovasi terus-menerus. Kalau nggak, ya akan ditinggal! Yang tetap tinggal biasanya hanya karyawan atau pelanggan kelas dua dan tiga. Sedangkan the best employee dan the best customer pergi kepada pesaing!

Nah, kalau sudah begitu, mirroring effect-nya tetap. Artinya, perusahaan harus menjamin ada inovasi terus sehingga mereka akan tahan. Jadi, kontrak tak tertulisnya tetap ada! Nggak peduli fungsinya apa, seorang karyawan harus melakukan inovasi kepada pelanggan. Kalau nggak? Dia akan left out oleh rekan-rekan sekerja! Itulah cara memuaskan para pelanggan sekarang. Kalau perusahaan Anda mau jadi SME, basic challenge-nya sama. Memuaskan pelanggan!

Caranya saja yang beda!

Sekarang harus terus memacu karyawan untuk terus berinovasi. Dengan begitu, mereka merasa aman. Sebab, mereka merasa perushaannya akan sustainable dan tidak bangkrut! Tugas siapa? Wah, semua!

Karena itu, walaupun zaman berubah, konsep SME yang merupakan versi 3.0 dari konsep saya tetap kuat! Sebab, prinsip dasarnya justru harus selalu dinamis!

Hanya, saat ini model perusahaannya tidak boleh perusahaan Jepang yang tradisional itu. Nggak peduli Jepang, Eropa, atau Amerika, Indonesia sekalipun bisa jadi model.

Lihat saja bagaimana Samsung bisa begitu inovatif. Semua karyawannya juga marketer! Di Indonesia, Astra adalah contoh yang baik! Di situ setiap orang sudah tahu untuk melayani customer. Itu tercantum di catur darma Astra yang mengikat seluruh karyawan.Buat saya, Samsung dan Astra adalah SME atau sustainable marketing enterprise.

Berbagai krisis boleh saja datang, tapi mereka selalu bisa bertransformasi lebih cepat daripada pesaing mereka! Kenapa? Sebab, semua orang merasa dirinya adalah pemasar! (*)

Marketing is A Noun, Market-ing is A Verb! (75)

Filed under: Uncategorized — markplus2010 @ 9:58 am

Buku kedua saya bersama Philip Kotler berjudul Sustainable Market-ing Enterprise in Asia. Di situ, saya menyempurnakan lagi Model Marketing Plus 2000, walaupun dasarnya sama. Itu merupakan versi ketiga karena versi keduanya ada di Repositioning Asia.
Dalam versi ketiga tersebut, saya sudah bicara tentang sebuah marketing company. Jadi, marketing benar-benar bukan sebagai fungsi yang paling penting saja. Tapi, marketing sebagai ”jiwa” perusahaan tersebut.

Nah, kalau marketing sudah merasuk ke dalam jiwa perusahaan yang terlihat pada sikap dan perilaku semua orang, masalahnya jadi lain. Barangkali, perusahaan itu sudah tidak perlu punya divisi marketing lagi! Buat apa punya suatu bagian yang namanya divisi atau department marketing? Bisa-bisa mengecilkan arti marketing itu sendiri!

Sustainable Market-ing Enterprise adalah gambaran saya tentang sebuah perusahaan yang begitu. Begitu ”marketing”, sehingga selalu menjalani analisis 4C terus-menerus, sehingga selalu alert. Kalau memang begitu, dari waktu ke waktu, perusahaan tersebut bisa melakukan perubahan-perubahan. Sebelum dipaksa berubah oleh landscape-nya.

Sebuah buku yang ditulis konsultan Jack Welch pada waktu dia melakukan transformasi besar-besaran di General Electric (GE) melambangkan hal itu. Control your destiny or somebody else will! (Kendalikan nasib Anda atau Anda akan dikendalikan orang lain). Itu sangat sejalan dengan model landscape 4C saya.

Artinya? Kalau ada change yang sedang terjadi, walaupun masih merupakan weak signal, sebuah perusahaan yang alert akan mengambilnya sebagai kesempatan untuk mengubah diri duluan. Sedangkan yang tidak mau berubah, ada risiko bisa telat dari pesaingnya.

Apalagi kalau tidak tahu bahwa ada perubahan sedang terjadi karena kurang peka! Pasti saja perusahaan semacam itu akan jadi dinosaurus! Jadi, model 4C tetap jadi alat analisis awal.

Kalau selalu bisa bertransformasi seiring dengan perubahan, perusahaan itu diharapkan akan sustainable. Berkelanjutan, tidak dimakan zaman! Nah, setelah itu, baru masuk ke model kedua, yaitu Sembilan Elemen, termasuk PDB sebagai anchor atau jangkarnya. Ditinjau ulang, apakah PDB-nya perlu diperbarui.

GE berubah dari perusahaan konglomerat yang fokus di Amerika dan menyerbu dunia ke sesuatu yang beda. PDB baru dari GE adalah perusahaan global yang fokus pada sektor bisnis yang bisa jadi nomor satu atau nomor dua. Karena itu, cocok dengan 3E saya. Yaitu, explore, engage, and execute! Artinya? GE melihat kesempatan dan ingin meng-explore pasar-pasar baru di seluruh dunia.

Kalau dulu pasar di luar Amerika dianggap export market, sekarang dianggap sebagai another market. Bedanya? Kalau dulu, produk dibuat di Amerika lantas ditawarkan pada export market. Paling-paling di-customize atau localize.

Karena itu, orang GE di luar Amerika adalah perwakilan dari kantor pusat. Tidak heran, mereka banyak yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Itu sekalian merupakan kelemahan orang Amerika. Tidak mau belajar bahasa orang, tidak mau mengerti budaya orang lain. Orang lainlah yang harus menyesuaikan diri dengan mereka. They can speak their own language and pay with their own money. Itu joke-nya, karena itu jadi malas mempelajari, apalagi ”jadi” orang lain.

Sementara itu, orang Jepang, sebelum ditempatkan di satu negara, selalu mempelajari bahasa maupun budaya setempat mulai dari Tokyo. Karena itu, mereka bisa lebih cepat masuk ke orang lokal. Bahkan, banyak yang malah tidak mau balik ke Jepang karena kadung jatuh cinta dengan negara ”baru”-nya.

E yang kedua adalah engage! Artinya, kalau sudah explore dan oke dengan suatu pasar, Anda harus engage untuk menciptakan local product bila perlu. GE banyak melakukan akuisisi perusahaan lokal sebagai simbolisasi engagement ini. Itulah cara cepat untuk masuk ke suatu pasar.

E ketiga adalah execute. GE banyak melalukan proses pembuatan produknya secara lokal. Atau, kalau tidak bisa, akan merancang suatu regional value chain yang melibatkan beberapa kompetensi berbeda dari berbagai tempat. Tiga E itu saya pakai untuk menghubungkan model 4C untuk sustainabilty dan 9 elemen untuk ”Market-ing”.

Artinya, ketika Anda harus memikirkan untuk perubahan karena ada perubahan landscape, seperti GE tadi, Anda harus mulai eksplorasi segmentasi dan target baru. Juga, harus melakukan engagement dengan melakukan investasi di marketing mix dan cara selling yang baru pula.

Akhirnya, juga harus ada execution dengan menetapakan process dan service baru. Jadi, 3E itu untuk memperkuat pemahaman orang akan konsep sembilan elemen saya yang bertumpu pada strategy, tactic, dan value. E pertama untuk new strategy, E kedua untuk new tactic, dan E ketiga untuk menciptakan new value.

Nah, karena berpikir dinamis seperti itu, saya mengubah Marketing jadi Market-ing! Kenapa? Sebab, saya mau supaya pemasaran itu jadi kata kerja yang dinamis (Market-ing). Ketimbang jadi kata benda yang pasif (Marketing).

Lagi pula, itu sejalan dengan apa yang saya katakan bahwa The real marketing company does not need to have marketing department. Karena itulah, elemen kedua dari SME ditulis sebagai Market-ing, bukan Marketing.

Nah, elemen ketiga adalah enterprise yang buat saya bukan hanya company-nya. Tapi, seluruh stakeholder-nya yang harus dipuaskan! Kalau tidak bisa, ya perusahaan tidak akan sustainable.

Untuk itu, saya menuliskan 3C, yaitu capital, customer, and competency. Artinya? Sebuah enterprise yang mau sustainable haruslah memperhatikan yang punya 3C itu!

Yang punya capital jelas pemegang saham. Bisa founder, partner, atau investor. Kalau tidak puas, mereka akan inves di perusahaan lain. Customer pasti karena sekali tidak puas mereka akan dengan gampang pindah ke tempat lain.

Sementara itu, competency, maksudnya SDM yang bekerja untuk perusahaan tersebut, juga harus dipuaskan. Nah, jadi hakikat enterprise itu sangat berbeda dari company yang hanya fokus pada shareholder!

Model yang saya pakai untuk menggambarkan enterprise ini adalah lingkaran untuk menunjukkan balance di antara ketiga main stakeholders– nya. Sedangkan gambaran sebuah company biasanya adalah piramida atau segi tiga sama kaki yang bersifat ”vertikal” dan tidak ”komprehensif”. Saya juga menggambarkan bahwa ada transaksi timbal balik antara sebuah perusahaan dengan ketiga C tersebut.

Aliran logika atau logical flow dari 4C ke 9 elemen (dengan 3E sebagai penghubung) sampai ke lingkaran komprehensif (dengan 3C sebagai penghubung) itu adalah ”inti” dari model SME. Setahap demi setahap, saya mengajak Philip Kotler untuk meredefinisi marketing untuk dunia. (*)

Hambatan? Dapatkan Aha dan Rasakan Wow! (74)

Filed under: Uncategorized — markplus2010 @ 9:57 am

SETELAH buku pertama bersama Prof Philip Kotler sukses, jalan jadi lebih terbuka.

Pada suatu hari di Singapura, setelah selesai bicara, saya disapa seorang Indonesia. Dia ternyata staf Prentice Hall Asia yang berkantor di Singapore. “Pak Hermawan, kenapa buku Repositioning Asia diterbitkan John Wiley?”

Saya langsung melihat “peluang”. Pasti ini adalah tanda-tanda persaingan antara dua penerbit raksasa itu di Asia. Repositioning Asia memang diterbitkan John Wiley Asia. Bosnya yang orang bule sampai datang ke Jakarta menemui saya untuk “merebut” penerbitannya waktu itu.

Dia berani menawarkan “advance” dan “royalty” lebih tinggi daripada biasanya. Dia juga ngaku kepingin menerbitkan buku yang ditulis Philip Kotler untuk yang pertama!

Sebuah penerbit besar seperti Wiley memang bersaing agar dapat nama besar pengarang. Nah, saya waktu itu lebih memilih Wiley karena Prentice Hall lebih fokus ke text book. Padahal, Repositioning Asia kan tergolong trade book. Karena itu, saya mengatakan hal yang sebenarnya kepada staf Prentice Hall itu.

Tapi, dia ngotot. “Kami juga bisa mempromosikan buku Pak Hermawan dan Kotler secara hebat.”

Oh ya, wah syukurlah kalau begitu.”

“Apalagi bos kami, Regional Manager Asia Prentice Hall, adalah orang Indonesia!”

“Wah… kalau begitu, ayo kita bicara,” kata saya bersemangat karena sesama orang Indonesia di luar negeri kan harus saling mendukung!

Saya melihat peluang jadi lebih besar lagi sekarang, yakni kemungkinan untuk membuat buku internasional kedua oleh penerbit lain.

Saya tahu Prentice Hall di bawah Pearson Group adalah penerbit buku teks legendaris Philip Kotler di dunia, baik untuk “undergrad“, “postgrad“, bahkan program diploma.

Saya juga tahu sudah ada yang versi Asia untuk yang postgrad dengan co-author tiga orang professor dari NUS yang teman-teman saya juga. Karena itu, saya menawarkan untuk membuat versi Asia dari yang undergrad. Saya berpikir, ini adalah peluang “masuk” ke Wiley Asia secara mulus, sambil menyisipkan model Marketing Plus 2000 di situ.

Dugaan saya benar! Mereka suka dengan ide saya, Kotler pun oke dengan ide itu. Sebab, ternyata, versi Asia bisa mem-boost penjualan di Asia sendiri. Ini pengalaman dari buku teks yang postgraduate itu.

Apalagi Kotler juga harus mempertahankan diri dari pesaingnya yang mulai membuat Buku Teks Marketing yang beda lagi approach-nya.

Nah, untuk memperkuat positioning sebagai buku teks itulah, saya lantas mengajak dua professor. Satu dari Singapura, satu dari Hongkong!: pusat-pusat Asia di waktu itu pascakrisis di awal tahun 2000-an. Tiongkok dan India belum sebesar sekarang!

Tentu saja, saya mengajak orang yang saya kenal. Profesor Hooi Den Huan dari Nanyang Business School dan Profesor Sandra Liu dari Baptist University. Dua orang itu saya kenal baik di pertemuan-pertemuan APMF!

Karena saya sudah sukses dengan buku pertama bersama Kotler, semuanya jadi gampang. Mereka amat senang membantu mengumpulkan kasus-kasus menarik dari wilayah masing-masing. Mereka bahkan berterima kasih karena diajak menulis dengan sang Mahaguru Kotler.

Impian mereka sejak dulu kini tiba.

Kotler pun setuju usul saya karena sudah mulai punya trust ke saya. Apalagi Sandra Liu yang pegang paspor AS itu pernah magang dan diberi kantor pas di sebelah kantor Kotler di kampus Kellogg!

Semua persiapan mulus, bahkan contoh-contoh dari berbagai negara sudah dikumpulkan. Sampai ada sebuah bad news bahwa proyek dihentikan!

Wiley Asia minta maaf karena Wiley pusat tidak setuju akan proyek ini. Alasannya, bisa mengurangi omzet penjualan buku teks aslinya.

Wah… ini kan cuma “kantong kiri, kantong kanan”. Saya tidak menerima begitu saja dan menyelidik terus.

Akhirnya, saya tahu bahwa ternyata tiga co-author versi Asia dari buku teks post graduate memang punya opsi untuk meng-Asia-kan buku yang undergrad.

Philip Kotler pun bilang sorry karena tidak menyadari akan hal ini. Terus terang, saya shock berat ketika itu. Saya merasa diperlakukan “tidak fair” ketika itu.

Kenapa nggak diberi tahu sejak dulu? Yang ambil inisiatif untuk proyek ini pun bukan saya. Justru “diminta” untuk menererbitkan satu buku bersama Prentice Hall. Tapi, secara legal, saya memang lemah karena belum ada perjanjian apa pun.

Semuanya hanya secara lisan.

Karena itu, saya lantas putar otak. Bagaimana caranya supaya proyek bisa tetap jalan secara win-win. Akhirnya, Aha… saya dapat jalan keluarnya. Out of the box!

Saya dan Prof Hooi menawarkan penerbitan sebuah buku yang beda sama sekali. Buku ini benar-benar pakai model Marketing Plus 2000 yang ketika itu sudah saya “perkaya” jadi Sustainable Market-ing Enterprise atau SME! Tetap SME in Asia karena semua kasus sudah terkumpul! Dan itu bisa dibundel dengan buku teks global yang dari Amerika!

Setelah beberapa kali diskusi, Prentice Hall Asia setuju! Syaratnya, di Nanyang Business School, buku “teks kedua” ini benar-benar dipakai. Prof Hooi otomatis setuju melakukan itu. Wow!

Akhirnya, buku itu bisa diterbitkan dengan mulus! Malah diterbitkan ke berbagai bahasa di Asia, termasuk bahasa Thai, Tionghoa yang tradisional maupun yang simplified, Vietnam, dan Indonesia!

Saya sendiri merasa bersyukur karena buku itu sekarang dicetak berulang-ulang dan sudah dipakai di berbagai sekolah bisnis di Asia. Malah untuk undergrad dan postgrad.

Apalagi buku kedua itu merupakan penjelasan tentang model saya yang dipakai untuk membahas krisis Asia di buku pertama.

Pelajarannya?

Jangan kecewa dan putus asa ketika Anda mendapat hambatan. Juga jangan sampai marah dan stres sehingga nggak bisa mencari solusi. Akhirnya, berpikirlah out of the box untuk menemukan solusi kreatif. Kalau sudah begitu, Anda akan mendapatkan Aha dan merasakan Wow! (*)

Y = C + G + I + (X – M), Rumus Tidak ”Gagap Makro”! (73)

Filed under: Uncategorized — markplus2010 @ 9:56 am

GARA-GARA buku Repositioning Asia, saya jadi dapat undangan bicara di mana-mana. Buku itu juga menarik banyak perhatian berbagai kalangan. Sebab, memang unik! Membahas krisis ekonomi yang ”makro” dari kacamata marketing yang ”mikro”.

Prof Lim Cong Yah yang begawan ekonomi dari Nanyang Technological University (NTU) juga membeli dan membaca buku itu. Prof Lim adalah besan Lee Kuan Yew dan merupakan profesor senior untuk ilmu ekonomi di Singapura. Dia sudah menjadi penasihat pemerintah di beberapa negara di luar Singapura. Dia juga dekat dengan para begawan ekonomi Indonesia.

Berkat Prof Hooi Den Huan dari NTU juga yang saya kenal lewat Marketing Institute of Singapore (MIS), saya jadi tambah dekat dengan Prof Lim. Karena itulah, setiap kali saya datang dan mengajar di NTU, saya punya kesempatan berbincang dengan beliau. Bukan setiap kali ketemunya, tapi setiap bertemu saya selalu belajar makro dari Prof Lim.

Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa orang marketing yang tidak ngerti ”makro” akan susah. Philip Kotler juga economist by training kan. Apalagi, krisis Asia yang begitu hebat membuktikan bahwa marketing yang normal gak bisa jalan pada waktu makronya runtuh. Tapi, siapa yang bisa membaca situasi makro lebih baik, dia punya kesempatan untuk membuat strategi marketing lebih tepat pada waktunya!

Karena itu pula, saya minta kepada Stephanie Hermawan, adik Mike, untuk sekolah makro aja. Setelah menyelesaikan St Stevens High School selama empat tahun di Austin, Stephanie akhirnya masuk University of Michigan. Walaupun, dia diterima juga di NYU!

Di Michigan, setiap kali berkunjung, saya berusaha menemui Prof Linda Lim. Dia adalah ekonom makro lagi, yang waktu itu adalah direktur ASEAN Center di sana. Dia juga dekat dengan anak-anak Indonesia yang lagi kuliah di sana.

Karena bergaul dengan berbagai ekonom itu, termasuk dengan Stephanie yang menyelesaikan bachelor-nya dalam waktu tiga tahun, saya jadi semakin sadar. Bahwa, ada hubungan yang erat antara marketing dan ekonomi.

Pertama, orang marketing yang meng-create value dari tiap-tiap perusahaan yang sering disebut pelaku ekonomi. Sedangkan orang ekonomi makro yang menghitungnya secara agregat.

Kedua, orang ekonomi makro juga bisa melakukan analisis dari hasil penciptaan nilai itu dan kemudian memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang kebijakan apa yang harus diambil. Tujuannya, kebijakan itu bisa menciptakan nilai secara maksimal.

Ketiga, buat saya yang orang marketing, saya merasa harus mengerti ekonomi makro secara global saja. Ada empat elemen di penciptaan economic growth suatu negara.

Y = C + G + I + (X – M)!

Ini rumusnya.

Artinya?

Y sama dengan pertumbuhan ekonomi yang bisa diciptakan lewat C (konsumsi), G (belanja pemerintah), I (investasi), X-M (net export). Indonesia diuntungkan karena punya penduduk yang banyak. Karena itu, C selalu jadi ”katup” penyelamat perekonomian.

Pada 1998, hal itu tidak terjadi karena orang pada tidak mau membeli sesuatu yang tidak basic. Semua orang lagi tidak menentu tentang masa depan Indonesia. Langit kayaknya mau runtuh. Karena itu, semua orang menyimpan uangnya erat-erat. Beli emas karena likuid dan gampang dicairkan. Atau, dilarikan ke luar Indonesia.

Pinjaman bank yang biasanya bisa membantu orang beli secara cicilan tidak jalan karena bunga terlalu tinggi. Bisa sampai 80 persen per tahun! Nah, karena ”mesin pertama” mati, Indonesia langsung mengalami pertumbuhan negatif 13 persen waktu itu.

Tapi, pada krisis global 2008 lalu, konsumsi boleh dikatakan tidak terlalu terpengaruh. Sebab, consumer confidence tetap tinggi dan inflasi secara umum bisa dijaga dengan ketat. Begitu juga yang terjadi pada India dan Tiongkok yang punya banyak penduduk.

Amerika dan Jepang yang orangnya kaya lagi terbelit utang dan rasa kurang percaya terhadap masa depan perekonomian mereka sendiri. Karena itu, mesin pertama stagnan dan bahkan di Jepang terjadi deflasi karena orang malas beli barang.

Singapura setengah mati ya karena jumlah penduduknya sedikit,walaupun kaya. Apalagi, mereka ”kiashu” atau takut rugi. Jadi, begitu ekonomi dunia mulai turun, mereka pun ngirit. Mesin kedua adalah pemerintah yang bertugas membelanjakan bujet, baik untuk yang rutin atau yang diarahkan untuk pembangunan.

Waktu krisis, C biasanya turun. Karena itu, G harus diperbesar untuk kompensasi. Tapi, kalau perekonomian yang sudah terbuka, porsi G terhadap C kecil karena yang menciptakan ekonomi semestinya pihak swasta, bukan pemerintah. Tapi, pemerintah memang harus menciptakan infrastruktur supaya swasta mau melakukan kegiatan ekonomi.

Saat krisis, pemerintah yang tidak punya cadangan devisa banyak bisa repot. Defisit pengeluaran yang terlalu besar juga akan merepotkan. Mau bikin obligasi negara, terpaksa bunganya mahal. Kecuali dapat bantuan pinjaman lunak dari internasional, tapi biasanya dengan syarat-syarat politik.

Pada zaman krisis 1998, Indonesia terpaksa minta bantuan IMF, tapi diminta memperketat uang, sehingga konsumsi dan investasi tambah macet! Hasilnya lebih parah. Saat krisis global 2008, Tiongkok punya posisi paling kuat di dunia. Sebab, cadangan devisanya sangat kuat, sehingga punya bargaining terhadap negara lain. Pemerintah bisa memberikan BLT dan bantuan lain kepada rakyat untuk mendongkrak C.

Selain itu, G tetap diperbesar dengan membangun infrastruktur gila-gilaan. Indonesia pada 2008 not bad karena punya cadangan devisa yang tidak terlalu besar, tapi cukup. Defisit juga, tapi tidak sebesar Amerika dan Eropa yang sampai dua digit. Godaan terbesar untuk menutup defisit yang terlalu besar adalah cetak uang yang akan menimbulkan inflasi dan menurunkan C!

Mesin ketiga adalah investasi. Bisa dalam bentuk investasi langsung atau portofolio. Semakin orang confident terhadap perekonomian, semakin besar minat investasi. Kalau hanya investasi di pasar saham, bisa jadi hot money. Gampang masuk, gampang keluar! Indeks bursa bisa naik turun kayak roller coaster karena gampang diterpa rumor.

Sementara itu, penanaman modal langsung, baik dari luar maupun dalam, akan lebih stabil karena sekali inves harus jangka panjang. Saat krisis, I biasanya turun karena sebagian besar orang stop dulu dan wait and see. Atau, menarik ke luar modalnya!

Mesin keempat adalah net export yang merupakan selisih antara ekspor dan impor. Tiongkok saat ini dicap sebagai negara merkantilis murni karena sangat percaya akan mesin keempat ini. Pemerintahnya melakukan apa pun, termasuk menjaga yen lemah serta memberi insentif terselubung dan bantuan untuk ekspor kepada pengusahanya. Karena itu, seluruh dunia sekarang dibanjiri made in China.

Indonesia, sayangnya, masih banyak menghasilkan ekspor komoditas dan barang tambang yang nilai tambahnya tidak besar. Sementara itu, impornya kebanyakan branded good, branded service, atau branded commodity. Karena itu, surplus perdagangan luar negeri kita tidak bisa besar.

Nah, hanya bermodal rumus ekonomi yang simpel seperti itu, saya mencoba memahami situasi makro. Dengan demikian, kita tidak terlalu ”gapkro” atau ”gagap makro”! Dengan melakukan analisis sederhana dan disertai update terus-menerus tentang perubahan yang cepat di dunia gara-gara internet, saya merasa lebih confident ketika menggunakan marketing untuk bikin strategi.

Ingat lho, perusahaan kita saat ini, seberapa pun besarnya, hanya seperti sebuah kapal kecil di samudera besar! Karena itu, seorang nakhoda kapal (marketer) harus bisa menganalisis situasi cuaca (makro). Gak usah yang ruwet, yang simpel aja, tapi bisa kasih gambaran! (*)

Untung Ada Krisis Asia, Bangga Jadi Arek Suroboyo (72)

Filed under: Uncategorized — markplus2010 @ 9:56 am

PERJALANAN MarkPlus setelah memasuki milenium ketiga pada 2000 semakin smooth. Gara-gara krisis Asia, saya bisa membawa MarkPlus mendapat pengakuan internasional. Buku Repositioning Asia terbitan John Wiley ada di mana-mana.

Di Changi Airport, saya melihat ada poster sangat besar dipasang di situ. Begitu juga di semua toko buku di Singapura, termasuk Kinokuniya dan MPH.

Saya hampir-hampir nggak percaya ketika melihat buku itu dipajang di rak best-seller berminggu-minggu di sana. Kalau di Indonesia, ya sudah biasa saja. Setelah menerbitkan lima seri Marketing Plus dan buku-buku lain di Indonesia, tulisan atas nama saya diburu penerbit. Bermula dari Pustaka Sinar Harapan, ketika belum ada yang mau menerbitkan, sampai ke Gramedia, Mizan, bahkan penerbit Jawa Pos! Tapi, kalau di luar negeri, waktu itu benar-benar kayak mimpi!

Launching buku pertama bersama Philip Kotler itu “resminya” dilakukan di Bangkok pada 2000. Pas ketika saya menyerahkan jabatan president Asia Pacific Marketing Federation (APMF) kepada Khun Suphat dari Marketing Association of Thailand (MAT). Pada pertengahan 2000 itu, saya dan Pak Y.W. Junardy sebagai Sekjen bisa bangga menyerahkan jabatan pimpinan itu pada Thailand. Kami berdua berhasil “menyelamatkan” APMF di tahun-tahun kritis 1998-2000!

Kami berdua bangga sebagai orang Indonesia yang negaranya “paling krisis”, tapi tidak mengambil uang sesen pun dari kocek APMF. Pembukuan yang kita serahkan cuma ada “pemasukan”, tidak ada “pengeluaran” sama sekali. Semua kegiatan selama masa krisis dibiayai sponsorship! Kami semua delegasi Indonesia di Bangkok ketika itu bisa “mendongakkan kepala” karena sudah menyelesaikan tugas dengan baik.

Upacara serah terima di Bangkok itu dihadiri juga oleh Princess Sirindhon, putri tercinta Raja Bumibhol di kampus terhormat Chulalangkorn! Aneh juga dan sekaligus unik. Saya menerima jabatan ketua APMF di Tokyo pada 1998 dari Australia di depan Princess Jepang. Dan, menyerahkan jabatan pada Thailand di Bangkok di depan princess-nya juga. Bersamaan dengan itu, buku saya pertama dengan Philip Kotler diluncurkan di depan para delegasi World Marketing Conference yang diselenggarakan bersama even tersebut. Launch disponsori Andersen Consulting (AC), Asia.

Ini sesuai dengan perjanjian “barter” antara Mike dan logo AC. Michael Hermawan boleh bekerja untuk meriset dan menulis buku saya selama setahun, tetap mendapat tunjangan penuh AC. Tapi, AC menaruh logonya di kover depan buku! Juga hasil riset AC tentang krisis Asia masuk buku Repositioning Asia. Bagi saya, itulah penutup dekade pertama dan sekaligus pembukaan dekade kedua MarkPlus Professional Service!

Dimulai dari Surabaya pada 1 Mei 1990, masuk Jakarta dua tahun kemudian. Mulai diakui punya kelas nasional setelah lima tahun, tapi terkena krisis hebat pada 1998. Tapi, justru dengan krisis Asia itulah, MarkPlus lantas bangkit secara internasional. Tepat sepuluh tahun kemudian, Mei 2000, saya bisa membawa MarkPlus mulai mengibarkan bendera internasional! Sesudah itu, yang saya lakukan adalah melakukan penguatan ke dalam dan keluar.

Ke dalam, konsolidasi tiga divisi yang ada, yaitu Consulting, Research, dan Education. Handi Irawan Djuwardi yang bergabung di MarkPlus pada saat-saat awal di Jakarta, sudah mendirikan Frontier. Karena itu, saya pun segera membangun Divisi Research yang dulu dikomandani Hartono Anwar. Hartono Anwar sekarang juga sudah punya perusahaan riset sendiri bersama beberapa alumnus MarkPlus. Akhirnya divisi riset kita sekarang menjadi MarkPlus Insight yang kayaknya sudah jadi perusahaan riset ad hoc terbesar di Indonesia.

Divisi ini sering mengerjakan proyek regional dan bekerja sama dengan lembaga riset internasional. Taufik dan Hasanudin yang alumnus ITS adalah dua orang yang akhirnya memimpin MarkPlus Insight sampai sekarang. Education Division juga saya solidkan dengan Handito sebagai pimpinan. Pernah bernama MarkEdu dan ketika mulai berkembang pesat, Handito memilih jalan sendiri membuka Arrbey Indonesia. Divisi ini saya solidkan juga karena jiwa saya sebagai guru pas dengan yang dikerjakan.

Kepemimpinan Yuswohady dan Ence membesarkan MarkPlus Institute of Marketing (MIM) dan sekarang dilanjutkan serta diperkuat oleh Jacky Mussry dan Alex Mulya. Sekarang MIM adalah lembaga pelatihan marketing terbesar di Indonesia yang banyak meng-outsource pelatihan berbagai perusahaan.

Bagaimana dengan consulting? Inilah yang saya rintis sejak 1990. Sejak bergabungnya Suryo Sukarno yang pernah tinggal dan menjadi konsultan di Amerika selama 14 tahun, divisi ini pun makin qualified. Akhirnya menjadi satu-satunya perusahaan konsulting lokal yang world class setelah Mike bergabung ke MarkPlus.

Setelah lulus dari Kellogg MBA, Mike bekerja di AT Kearney selama tiga tahun dan menangani berbagai proyek consulting di region. Karena itu, dialah yang kemudian membuat MarkPlus Consulting jadi the real professional consulting company di Indonesia.

Ke luar, saya mulai membuka kantor di Bandung dan Semarang pada 2002. Dengan demikian, pada waktu itu, setelah dua belas tahun, MarkPlus sudah ada di empat kota besar di Indonesia. Tiga tahun kemudian, MarkPlus juga ada di Medan. Sekarang juga ada di Makassar dan Bali.

Konsolidasi ke dalam dan ke luar ini tentu saja berjalan dengan diterbitkannya buku-buku internasional saya berikutnya. Selain itu, ada pengembangan regional yang akan saya ceritakan lain kali. Tulisan ini hanya ingin memberikan executive summary tulisan selama dua minggu ke belakang. Apa itu?

Kesimpulannya hanya dua! Satu, untung ada krisis Asia, di mana Indonesia kena krisis paling hebat! Dua, untung saya orang Indonesia dan bangga jadi arek Suroboyo yang “bonek”. (*)

Riding the Wave, Winning the Momentum! (71)

Filed under: Uncategorized — markplus2010 @ 9:55 am

KRISIS Asia yang melanda Indonesia pada 1998 memang luar biasa. Dari pertumbuhan yang selalu mendekati sepuluh persen sebelum krisis menjadi minus 13 persen pada 1998. Tapi, pada 1999, pertumbuhan ekonomi Indonesia jadi positif lagi! Jadi, polanya seperti huruf V! Itu juga terjadi di berbagai negara Asia lain.

Pada 1999, Indonesia juga melakukan pemilu. Mendadak saja, politik jadi menarik di Indonesia setelah bertahun-tahun kurang menarik. Sebab, partai politik yang menang selalu Golkar dan presiden yang dipilih selalu Soeharto.

Pemilu pertama yang demokratis itu dimenangi PDIP. Golkar yang ”baru” jadi parpol dikalahkan parpol yang pada zaman Pak Harto dipecah belah. Bahkan, markasnya pernah diobrak-abrik secara misterius.

PDIP di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputri mendadak saja mendapat simpati dari pemilih. Posisi sebagai partai yang dizalimi mengalahkan partai yang sangat profesional.

Andi Mallarangeng yang saya kenal kali pertama pada 1997 memang sudah meramalkan hal tersebut waktu itu. Saya kebetulan saja bertemu Andi di pulaunya Pak Joe Kamdani yang pendiri Datascript. Kami kebetulan sama-sama diundang untuk nginap di pulau pribadinya di Kepulauan Seribu.

Waktu itu, Andi sudah mengatakan bahwa Pak Harto akan ”jatuh”. Sebagai seorang doktor di bidang political science lulusan Chicago, dia menganalisis situasi secara ilmiah.

Bahwa, kayaknya rakyat sudah ”mentok” dengan Pak Harto. Karena itu, pasti jatuh! Hebatnya, hari pertama Pemilu 1999, Andi sudah meramal lagi bahwa PDIP pasti akan menang! Alasannya bukan karena PDIP sudah merupakan parpol yang well-organized, tapi lebih karena para pemilih berpikir ”ABG”. Asal Bukan Golkar!

Pak Akbar Tandjung yang waktu itu jadi sekretaris negaranya Pak Habibie sudah berusaha keras menyelamatkan Golkar. Buat saya, Akbar adalah seorang political marketer! Dia melakukan repositioning dengan meng-create PDB baru bagi Golkar baru.

Dari sebuah partai pemerintahnya Pak Harto yang lagi dimarahin banyak orang jadi sebuah partai profesional. Pak Akbar Tandjung cukup smart untuk tidak memosisikan diri sebagai pengganti Pak Harto. Sebab, gak bisa ada dukungan diferensiasinya!

Tapi, dia melakukan konsolidasi dari kino-kino Golkar yang tercerai-berai karena kehilangan pemimpin kuat kayak Pak Harto! Dia juga berhasil menghidupkan ”mesin organisasi” Golkar yang sudah sangat mengakar ke bawah!

Memang hebat, sehingga akhirnya Golkar kalah terhormat sebagai runner-up. Di luar Jawa yang waktu krisis, banyak orang yang malah jadi kaya, Golkar banyak menang di berbagai tempat!

Tapi, Andi meramal dengan tepat bahwa PDIP menang karena mendapat swinging voters yang kecewa pada Golkar. Dengan demikian, PDIP punya anggota terbanyak di MPR dan disusul Golkar. Pak Habibie yang waktu itu jadi presiden transisi ditolak tanggung jawabnya. Walaupun, selama masa transisi itu, Pak Habibie juga memosisikan dirinya ”berbeda” dari Pak Harto.

Beliau berusaha keras supaya tidak dipersepsi sebagai penerus Pak Harto. Pers dibebaskan. Sampai sekarang pun, orang tidak perlu SIUPP untuk memulai suatu media cetak baru! Pak Habibie ingin meng-create PDB sebagai presiden yang demokratis lulusan Jerman.

Saya pernah bertemu beliau di Istana Negara saat beliau mengundang semua pengurus Kadin Indonesia. Istana tidak sakral lagi. Beliau menunjukkan desktop di kantor beliau untuk memantau situasi terakhir.

Wow! Waktu itu, semua orang jadi sadar bahwa Habibie memang punya PDB yang sangat berbeda dari Soeharto. Apalagi, setiap ketemu orang, selalu ada cipiki dan cipika.

Sayangnya, Indonesia kehilangan Timor Timur lewat plebisit waktu itu. Terlalu demokratis dan waktunya kurang tepat! Apalagi, kemudian banyak kekacauan waktu TNI mundur dari Timtim!Nah, jadi bisa dimengerti kenapa pertanggungjawaban Habibie ditolak, walaupun ada Akbar Tandjung yang tangguh di Golkar! Akibatnya?

Di MPR, terjadi chaos karena anggota MPR dari PDIP ternyata ”kalah jam terbang” dari pesaingnya untuk memenangkan Ibu Mega jadi presiden.

Sedangkan Golkar sebagai juara dua jadi ”kehilangan momentum” ketika laporan pertanggungjawaban Habibie ditolak. Akhirnya, yang naik jadi presiden malah Gus Dur setelah Amien Rais ”puas” jadi ketua MPR. Mbak Mega yang parpolnya jadi pemenang pemilu harus puas jadi wakil presiden.

Nah, pasangan Gus Dur dan Mbak Mega itu, walaupun tidak ideal, setidaknya sudah merupakan simbolisasi Indonesia baru yang lebih horizontal. Indonesia yang sudah lebih demokratis! Hal tersebut tentu tidak saya sia-siakan! Apalagi, 1999 adalah akhir milenium kedua. Dan 1 Januari 2000 adalah hari pertama milenium ketiga!

Walaupun klien-klien saya belum sepenuhnya ”pulih” pada 1999, saya membangkitkan nasionalisme mereka. Caranya? Saya menyelenggarakan suatu acara besar-besaran di Balai Sidang untuk bersama-sama merayakan New Indonesia in New Millenium.

Saya masih ingat, main sponsor-nya waktu itu Indofood yang membiayai tarian kolosal dari kelompok Guruh Soekarnoputra. Jadi, pas dengan nasionalisme baru Indonesia! Tiap-tiap perusahaan nasional saya telepon satu-satu untuk minta mereka mau merayakan datangnya milenium baru secara bersama-sama. Hasilnya?

Dua ribu lima ratus orang datang dan disiarkan live oleh RCTI! Teman-teman saya dari Asia Pacific Marketing Federation pada bengong ketika saya undang sebagai presiden APMF waktu itu. Krisis memang belum benar-benar selesai. Tapi, hal tersebut saya lakukan untuk memperkuat PDB MarkPlus. Sebagai institusi marketing di ”garda depan” dengan kelas dunia!

Pelajarannya? Don’t lose the momentum to ride the wave! (*)

Oleh-Oleh dari ”Pengungsian” di Washington DC (70)

Filed under: Uncategorized — markplus2010 @ 9:54 am

PENULISAN buku Repositioning Asia terbitan John Wiley, Asia, mulai ide sampai penerbitan makan waktu hampir dua tahun. Pada babak akhir penulisan, saya merasa beruntung karena sempat menemukan sebuah buku di Amerika.

Ketika itu, saya dapat undangan untuk berbicara di American Marketing Association Education Winter Conference. Diundang Prof Warren Keegan untuk bicara dalam sesi dia tentang Segmentasi Pasar di Masa Krisis. Undangan tersebut tentu saja tidak boleh disia-siakan, walaupun harus beli tiket sendiri.

Untuk itu, saya pakai semua poin yang sudah saya kumpulkan di Singapore Airlines. Ternyata, cukup untuk terbang ke New York City pulang-pergi. Dari New York, saya dibeliin tiket oleh Prof Keegan untuk terbang ke Boston, tempat konferensi dilaksanakan. Karena sudah tanggung sampai di Amerika dan di Jakarta lagi sepi, saya balik lagi ke New York.

Karena gak mampu bayar hotel, saya numpang di rumah Catharina Tjiook di Queens. Catharina adalah teman saya, orang Surabaya, dulu pernah jadi juara kompetisi tenis meja nasional. Waktu itu, dia memang sudah lama tinggal dan bekerja di New York sampai sekarang sudah menetap di sana.

Karena hanya ada satu kamar tidur, ya saya cukup tidur di sofa selama seminggu. I love New York, I really love it! Karena itu, saya menikmati saja selama seminggu di sana.

Saban hari, acara rutin saya joging selama sejam di neighborhood tempat tinggal Catharina. Sebelum balik ke apartemen, biasanya saya selalu singgah di warung McDonalds di dekat situ. Cukup satu quarter pounder, french fries, dan Coca-Cola. Acara sehat dan murah!

Abis mandi, terus naik subway nomor 7 ke Manhattan. Bisa pas berhenti di Times Square.

Saban hari ganti rute jalan-jalan menelusuri Kota New York! Semua pelosok saya datangi, termasuk Harlem yang seram itu. Saya juga sempat singgah di Gedung PBB dan melihat banyak selebaran yang ada foto para korban 13-14 Mei.

KBRI dan KJRI di berbagai kota di Amerika waktu itu didemo berkali-kali. Saya juga sempat ikut diskusi di kantor PTRI atau Perwakilan Tetap Republik Indonesia tentang kejadian Mei tersebut.

Di situlah saya bertemu banyak warga Indonesia di sana yang sangat menyesalkan terjadinya peristiwa Mei tersebut. Sampai akhirnya, citra Indonesia ketika itu benar-benar tercoreng di dunia internasional!

Yang mengharukan adalah pernyataan seorang perempuan aktivis dari Aceh. Dia sangat bersimpati atas kejadian yang menimpa beberapa korban perempuan Tionghoa di Jakarta. Kenapa?

Sebab, dia mengingat akan korban perempuan dampak dari Daerah Operasi Militer atau DOM di Aceh. Di situlah, saya melihat bahwa rasa kebangsaan Indonesia justru semakin kuat karena adanya peristiwa Mei 1998 tersebut.

Selama seminggu itu, saya benar-benar ngirit! Makan siang cuma beli hot dog di pinggir jalan yang dijual orang-orang hitam dengan harga satu setengah dolar! Makannya cukup sambil jalan, minumnya dari air pet di jalan-jalan. Makan malam biasanya disediakan gratis oleh tuan rumah. Tidak berani nonton Broadway karena harga tiketnya bagi saya ”naik lima kali lipat” dalam rupiah.

Dari New York, saya menelepon Pak Dorodjatun Kuncoro Jakti di Washington DC. Waktu itu, beliau menjadi duta besar Indonesia untuk Amerika. Saya bilang saja terus terang pingin ke sana dan numpang di Wisma Indonesia.

Ketika beliau bilang oke, saya langsung naik bus Greyhound ke sana. Gak berani naik pesawat, takut kemahalan. Tapi, akhirnya tahu bahwa tiket bus ternyata jatuhnya lebih mahal! Mau ngirit jadi keliru.

Selama tiga hari saya tinggal di Wisma Indonesia. Wah, kayak masuk istana. Gede, bersih, banyak pelayan, dan makanannya ya makanan Indonesia. Saban pagi sarapan bareng Dubes dan istri. Pergi ke mana-mana diantar sopir orang Indonesia!

Waktu itu, saya diantar ketemu orang-orang Indonesia yang bekerja di IMF maupun World Bank. Juga sempat diwawancarai VOA atau Voice of America seksi Indonesia.

Waktu senggang, saya mampir ke Georgetown, mampir di toko buku favoritnya Pak Djatun. Nah, di situlah saya menemukan buku Crisis and Renewal! Sebuah buku hasil riset penulisnya, David Hurst, yang menunjukkan model sustainability loop.

Saya sangat suka model itu karena pas dengan yang sedang dialami Indonesia. Dalam buku tersebut ditunjukkan bahwa titik paling berbahaya ya ketika sebuah negara atau perusahaan berada di comfort zone. Lupa berubah, pasti terjadi krisis!

Karena itu, harus ada inisiatif untuk mengubah diri sebelum dipaksa berubah dari luar! Kalau pemerintah atau perusahaan selalu alert dan melakukan transformasi secara kontinu, akan terjadi sustainability. Akhirnya, model itu saya adopt ke dalam model 4C. Yaitu, change, competitor, customer, dan company.

Dengan demikian, model saya bertambah kuat. Karena landscape memang berubah terus, sebuah perusahaan memerlukan inisiatif untuk men-drive the loop. Supaya tidak sampai terjadi krisis!

Model loop itu pula yang merupakan simbolisasi bahwa antara makro (pemerintah) dan mikro (perusahaan) ya sama saja. Karena itu, ketika saya masukkan model tersebut ke Repositioning Asia, Profesor Kotler senang bukan main. Sebab, misi buku itu, dari semula, menerangkan krisis Asia yang makro menggunakan konsep marketing yang mikro.

Itulah oleh-oleh dari ”pengungsian” selama krisis di Amerika.

Itu juga akan saya ceritakan pada sesi Lecture of the Decade dalam The MarkPlus Festival pada 1 Mei 2010. (*)

Titanic, Saving Private Ryan dan Wall Street! (69)

Filed under: Uncategorized — markplus2010 @ 9:53 am

BERSAMAANdengan krisis Asia yang sedang hebat-hebatnya, ada sebuat film Hollywood yang sukses besar. Titanic! Masih ingat ceritanya?

Film ini bercerita tentang sebuah kisah nyata dari arogansi seseorang. Terlalu percaya atau overconfidence pada kapalnya yang besar dan mewah. Bahkan, saat berangkat pada “pelayaran perdana”, Titanic diumumkan sebagai kapal yang tidak bisa tenggelam!

Semua penumpang pun jadinya sangat percaya dan just enjoy dengan pelayan Trans-Atlantic itu. Pesta digelar setiap malam. Bahkan, ketika kapal mulai miring, musik pengiring dansa masih berbunyi.

Arogansi itu pula yang membuat Titanic menabrak gunung es. Kelihatan kecil di permukaan laut, tapi sangat besar di bawah permukaan. Ketika terjadi kepanikan di Titanic, terlihat bahwa semua orang mau menyelamatkan diri masing-masing. Tidak peduli orang lain lagi.

Saya memakai analogi Titanic ini ketika menjelaskan krisis di Indonesia ketika itu. Di permukaan, kelihatan perusahaan yang susah, hanya kesulitan cash flow. Penjualan turun, utang bertumpuk, kapasitas terpasang, dan karyawan jadi “beban”. Tapi, kalau didalami, sebetulnya ada struktur keuangan yang salah.

Rasa percaya diri berlebihan ditambah iming-iming bunga murah utang USD, membuat debt equity ratio jadi sangat berbahaya. Kebesaran utang, sehingga lupa pada bankruptcy cost. Padahal, ini “hanya” pelajaran financial management 101!

Ditambah overconfidence kepada Pak Harto yang waktu itu dianggap “selalu” bisa menyelesaikan masalah apa pun. Karena itu, proyek banyak di-mark up dan uang pinjaman pun dilarikan ke luar negeri untuk pribadi. Kalau nggak begitu, biasanya kapasitas terpasang pun dibikin berlebihan. Mumpung bisa kan!

Itulah yang saya katakan waktu itu sebagai suatu mata rantai over confidence to “over-investment to over-capacity. Padahal, masalah sebenarnya yang ada “di dasar paling bawah” gunung es itu adalah masalah marketing! Tidak peduli PDB!

No clear positioning, no solid differentiation and no strong brand! Di waktu krisis, perusahaan yang punya PDB kuat masih bisa bertahan dari kebangkrutan. Selain itu, setiap penambahan kapasitas kan harus dilihat dari perkembangan pasar yang mau diambil.

Bukan asal menambah kapasitas, bikin produk dan nanti mendorongnya ke pasar secara “ngawur”! Dengan memperlihatkan analogi seperti ini, orang jadi gampang “ngeh” tentang krisis. Dan, bagaimana sesudah krisis terjadi dan banyak aset perusahaan disita BPPN? Ya, persis seperti di Titanic, setiap perusahaan berusaha menyelamatkan diri sendiri-sendiri.

Justru dengan krisis itulah, terbedakan karakter masing-masing. Ada pemilik perusahaan yang benar-benar melaporkan aset dan utangnya untuk menyelesaikan secara baik-baik.

Namun, ada juga yang menyembunyikan banyak aset, tapi mengemukakan semua utangnya. Beberapa pengusaha malah jadi “tambah kaya” sesudah krisis, karena berhasil dapat hair cut dari sebagian besar utangnya.

Analogi krisis Asia di Indonesia dengan Titanic ini sampai sekarang masih banyak diingat orang yang ketika itu mendengarkan saya. Saya juga menggunakan film garapan Stephen Spielberg untuk menggambarkan “landscape yang berubah”.

Film itu namanya “Saving Private Ryan“. Ceritanya diawali dengan pendaratan tentara Sekutu di Pantai Normandy. Semua rencana dan strategi sudah dibuat berdasar asumsi dan intelijen yang ada. Tapi, ketika pendaratan dilakukan, mendadak langit jadi hitam dan hujan lebat.

Dengan demikian, eksekusi pendaratan tidak cocok dengan skenario semula. Selain itu, tentara Jerman yang diperkirakan masih tidur di pagi hari, ternyata malah menunggu. Dari tempat perlindungannya, tentara Jerman itu memuntahkan pelurunya pada pasukan Sekutu yang mendarat. Akibatnya?

Banyak sekali korban jatuh. Walaupun, akhirnya bisa berhasil, tentara Sekutu mengeluarkan cost yang sangat tinggi untuk itu. Selain itu, banyak komandan lapangan yang tertembak mati. Prajurit pun bingung melihat pemimpin-pemimpinnya mati. Untungnya, beberapa sersan langsung mengambil alih kepemimpinan dan memberikan pengarahan kepada para prajurit!

Krisis Asia yang hebat juga seperti itu! Para pemilik perusahaan besar yang KKN sudah mempunyai strategi pengembangan bisnisnya berdasarkan info yang ada. Mereka tidak pernah menyangka bahwa Pak Harto bisa “jatuh”. Waktu itu Pak Harto tersenyum saja, semua orang “bingung” memikirkan maksudnya. Apalagi kalau Pak Harto sudah bilang, “Serahkan pada saya!” Semuanya akan beres!

Siapa sangka, krisis Asia ternyata memang tidak bisa diselesaikan Pak Harto. Walaupun sebenarnya pada lima tahun terakhir kepemimpinannya, Pak Harto kelihatan makin lemah.

Tapi, perusahaan besar yang ber-KKN tetap saja tidak punya “skenario” lain kalau “landscape berubah”! Akibatnya? Cost-nya jadi tinggi ketika tahu-tahu “cuaca”” berubah. Mereka jadi bingung karena tidak pernah menduga hal itu. Banyak perusahaan yang langsung bangkrut atau ditutup! Justru waktu itu, saya melihat perusahaan yang tidak terlalu besar “lebih kuat”.

Overhead tidak besar sehingga tidak perlu PHK. Selain itu, karena nggak pernah KKN, ya sudah punya kompetensi. Perusahaan menengah kecil, bahkan para wirausaha kecil yang membentuk “ekonomi informal” ini, adalah seperti sersan-sersan di film Stephen Spielberg itu!

Merekalah, waktu itu yang nggak punya utang USD, jadi bisa jadi motor survival ekonomi Indonesia!

Sedangkan film Wall Street yang dibintangi Michael Douglas sering saya pakai sebagai analogi orang yang rakus. “Greed is Good!” Adalah kata-kata yang terkenal dari film itu.

Para broker di Wall Street kan memang seperti itu. Banyak yang stres ketika mimpinya untuk cepat kaya tidak tercapai.

Krisis waktu itu juga disebabkan oleh para pengusaha KKN yang tidak pernah puas. Sudah besar, masih kurang besar! Asyik ber-KKN ria dan tidak perlu ber-PDB! Pada waktu krisis datang, banyak yang stres, bahkan stroke dan gone! Nah, ketiga film itulah yang saya pakai untuk menjelaskan krisis Asia waktu itu. Pelajarannya?

Orang selalu suka pada gaya story telling. Karena itu, penggunaan film yang banyak ditonton orang selalu bisa “menolong” untuk menjelaskan sesuatu yang ruwet jadi mudah. Dan, itu sudah “pas” dengan gaya saya bicara dan menulis!

Sekali lagi, don’t underestimate it. Story-telling is so powerfull! (*)

Three Crisis Segments: Snob, Smart, and Dumb! (68)

Filed under: Uncategorized — markplus2010 @ 9:53 am

TAHUN 1998 memang benar-benar berat bagi Indonesia. Juga bagi MarkPlus Professional Service yang baru berusia delapan tahun. Tapi, justru “momentum” itulah yang tidak mau saya sia-siakan. Ketika itu saya malah men-“deklarasi”-kan 1998 sebagai The exciting year!

Selain untuk memberikan semangat kepada orang lain, juga pada diri sendiri! Saya lantas malah menerbitkan buku khusus untuk menghadapi krisis. Buku itu saya mulai dengan mengatakan bahwa ada peluang yang justru bisa diambil di waktu krisis. Ketika semua orang “tiarap”, justru yang “aktif” akan berpeluang untuk menang. Tentu saja harus membuang mental KKN jauh-jauh dan menggantinya dengan BTP. Bersih, transparan, dan profesional.

Tapi, itu pun tidak cukup. Harus diteruskan dengan PDB, yaitu positioning, differentiation, dan branding. Nah, kemudian saya memberikan tiga formula untuk mendapatkan peluang. Apa itu? Romancing, rationalising, dan economising the brand!

Pertama, romancing the brand! Strategi ini dipakai kalau brand image mau dijaga dan tidak hancur pada waktu Krisis. Bahkan, bisa “naik” kalau beruntung. Pada saat krisis, secara umum, orang jadi “miskin” dan “tidak percaya diri”. Secara umum orang tidak berani spend money karena tidak tahu masa depan Indonesia. Tapi, tetap saja ada ceruk pasar yang malah menjadi “kaya” waktu krisis. Siapa itu? Orang yang menyimpan dolar AS (USD) pasti bertambah kaya. Ketika USD naik lima kali nilai tukarnya, sedang inflasi “hanya” 80 persen, semuanya jelas murah! Asal harga suatu produk atau jasa dalam rupiah!

Semua harga dalam USD waktu itu “menakutkan”! Dalam rupiah malah OK bagi para penyimpan USD. Banyak dari mereka yang “mencairkan” sebagian USD-nya ke rupiah dan membeli aset-aset apa saja, mumpung “murah”. Tanah dan rumah yang “ditinggal” pemiliknya yang “lari” harganya miring dalam rupiah, apalagi dalam USD! Begitu juga orang yang menyimpan emas. Bukankah emas harganya “terikat” pada USD. Jadi, kaya mendadak kan?

Dan, bagi orang-orang ini yang secara strategic long term melihat Indonesia akan balik lagi dan bahkan lebih bagus malah akan “invest” di Indonesia. Tapi, selain inves, mereka melihat inilah waktunya enjoy (menikmati) luxury things. Dulu tidak terjangkau, sekarang mendadak bisa!

Sebuah hotel bintang lima, waktu itu, menawarkan paket honey moon lengkap pada akhir pekan. Termasuk kamar mewah dua malam plus tiga kali dining per hari plus massage, dan sebagainya. Sekarang, Anda mungkin nggak heran mendengar seperti itu. Tapi waktu itu, belum ada private villa dan belum ada segmen honey-mooner. Program itu ternyata bisa sukses besar di masa krisis. Semacam balancer pada kehidupan yang sedang susah! Beberapa orang memang lagi tidak mau bisnis dulu dan sambil menunggu krisis reda, menikmati bunga rupiah tinggi dan enjoy life!

MBA pun bermunculan dan cukup mahal. Daripada tak ada bisnis, banyak orang sekolah dulu, sambil menunggu krisis berakhir. Pak Jusuf Kalla yang waktu itu ketua Kadin Sulsel juga bercerita kepada saya. Dia memindahkan showroom mobilnya dari Makassar ke desa malah tambah laris. Kenapa? Banyak orang desa yang mengekspor komoditas, mendapat USD, dan jadi “kaya” dalam rupiah.

Menurut cerita, bahkan, di antara mereka ada yang membeli tiga BMW sekaligus. Dulunya, mereka cuma naik Kijang! Juga, katanya, mereka memasang antena parabola lebih dari satu! Supaya bisa melihat banyak channel luar negeri. Ngerti gak ngerti urusan belakang. Inilah yang saya sebut sebagai “snobcustomer! Di masa krisis mendadak muncul snob segment.

Kedua, rationalizing the brand! Saya juga menyebutnya sebagai downscaling. Mempertahankan brand image, tapi tetap rasional. Membuat kemasan lebih kecil adalah salah satu cara pelaksanaannya. Ketika itu, banyak brand yang mempertahankan mutu, tapi mengurangi kuantitas. Walaupun harga per unit “jatuhnya” lebih mahal, jadinya lebih affordable Mengganti beberapa bahan dengan substitusi yang lebih murah, tapi berkualitas sama. Harapannya, cost bisa lebih “ringan”, tapi pelanggan tidak “berkorban” kualitas.

Ada lagi yang mengganti packaging dengan yang lebih murah, tapi isinya dipertahankan. Kan pelanggan bisa “maklum” karena ada krisis.

Waktu itu juga banyak “warung dadakan”. Berbagai anak muda, termasuk selebriti, berkongsi untuk membuka warung. Makanan hotel, tapi dijual di pinggir jalan dengan harga miring. Paket hemat di restoran chain juga banyak, untuk mempertahankan pelanggan supaya tidak “diambil” warung dadakan ini. Segmen ini saya sebut smart segment. Orang-orang yang “pintar” berhitung value for money dari suatu penawaran.

Ketiga, economising the brand! Di sini kualitas benar-benar turun! Karena sudah tidak kuat lagi. Toh, memakai strategi kedua sudah tak bisa lagi. Kapasitas terpasang sudah ada, terpaksa bermain harga, tapi kualitas sekaligus turun. Ini bahaya untuk brand! Ketika krisis selesai, bisa repot. Tapi, kalau memang sudah “diniati” turun kelas, ya tak apa apa.

Atau? Pakai brand baru di waktu krisis. Mau diteruskan sebagai second brand sesudah krisis selesai, boleh. Tapi, kalau tak mau diteruskan, juga tak apa-apa. Sekadar “menyambung hidup” di waktu krisis. Bagi saya, ini yang disebut dumb segment. Orang-orang berpenghasilan tetap yang purchasing power-nya merosot karena hyperinflation! Termasuk di sini juga banyak orang yang dipecat dari perusahaan. Tapi, beberapa dari mereka malah berhasil menjadi entrepreneur dengan masuk ke multilevel marketing! Tidak semua berhasil memang! Tapi, yang berhasil jadi “kaya” malah jadi snob. Lucu ya!

Hal itu saya ceritakan ketika pada 1999 saya diundang berbicara di American Marketing Association (AMA) Education Conference di Boston. Waktu itu saya katakan bahwa di masa krisis memang ada tiga segmen pasar, yaitu snob, smart, dan dumb. Dan, ada “perputaran”-nya. Segmen yang dulu dumb bisa mendadak jadi snob kalau mendadak jadi “kaya”. Yang dulu snob terpaksa jadi smart karena mau hidup lebih rasional. Sedangkan yang dulu smart bisa turun kelas jadi dumb!

Cara melihat pasar secara kreatif inilah yang saya perkenalkan di Boston, berdasarkan pengalaman nyata di Indonesia yang sedang krisis hebat. Buku tentang krisis itu laris manis di Indonesia. Isinya yang saya seminarkan di Boston menarik banyak perhatian profesor marketing dari berbagai perguruan tinggi di sana yang ingin tahu tentang krisis Asia. Itulah upaya saya supaya MarkPlus tetap bisa jadi “garda depan marketing” di pentas dunia, walaupun sedang di masa krisis. Yakni, mengambil krisis itu sendiri sebagai suatu kasus. (el)

Laman Berikutnya »

Blog di WordPress.com.